Pembentuk Karakterku
Kuleleah dengan semua ini, apa yang aku inginkan tak pernah mendapat ijin dari kedua orang tuaku. Ya, contohnya adalah keinginanku untuk menjadi tentara, sejak dulu kedua orang tuaku tak pernah mengijinkanku untuk itu, bahkan mereka melarangku. Kini, setelah kakiku patah, mereka baru mengijinkanku menjadi apa yang aku mau, tapi apa daya, kini aku sudah tak minat untuk menjadi apapun. Semangat untuk masuk sekolah sudah tak seperti dulu saat aku ingin menjadi tentara, nilai rapot kian lama kian buruk, aku tak tau sampai kapan aku harus seperti ini. Dalam hati ini aku hanya ingin memutar balikkan waktu pada saat aku belum ingin menjadi tentara. Sebenarnya, waktu kelas dua SD, bu Netty bertanya pada semua murid, "Apa cita-cita kalian? tulis yang besar dibuku gambar ya!". saat itu aku menulis "KOKI" tapi, saat sampai dirumah, saat kutunjukkan pada orang tuaku, mereka bilang padaku dengan nada marah, "Gak boleh jadi koki, jadi dokter aja, kalo jadi koki gak bisa bantu orang." dengan kata-kata itu, aku merasa sangat marah, keadaan yang semula nyaman, ceria, kini jadi membosankan. Ku lari kedalam kamar, ku kunci dari dalam, almari plastik yang baru tiga bulan menjadi rusak karena kujadikan media pukul untuk meluapkan emosiku.
Nenek memanggilku, "zak, buka pintunya, mbah mau ambil mukena" mendengar suara itu aku pun membuka pintu kamar itu. Aku memeluk dan menangis saat mbah masuk kedalam kamar, aku merasa bahwa hidupku adalah pilihan orang tuaku, bukan pilihanku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi anak yang lebih nakal dari sekarang. sampai kelas enam sd aku selalu langganan panggillan BK dan kepala sekolah, sampai pada hari itu tiba, aku terus berbuat hal yang berada diluar keinginan orang tuaku.
Saat itu(kelas 6) aku masuk dalam klub sepak bola, pada saat pertandingan baru berjalan sepuluh menit aku menekel seorang lawan mainku, dia tak terima dan memberiku sebuah pukulan. dengan mulut yang berdarah aku tertawa, dan memberikan sebuah tendangan yang membuatnya terkapar di lapangan. Giginya patah, dan ia menangis, saat aku mendapat kartu merah, aku berbalik hendak keluar lapangan, tapi, setelah beberapa langkah aku kembali menghampiri Anung, ku jabat tangannya. Mungkin wasit mengira aku hendak membantunya berdiri, tapi saat itu aku menjatuhkannya lagi dan menambah sebuah tendangan dengan sepatu bolaku yang tepat mengenai pundaknya hingga membuat pundak Anung retak.Suasana bertambah panas dengan cuaca yang sebenarnya sudah cukup panas.
Tiba dirumah, aku tak menggubris saat ayahku memanggil, aku terus berjalan menuju dapur, aku tak kaget saat ayah menarik kerah bajuku dan memukulku. Pukulan ayah sudah tak bisa kurasakan lagi, mau sekeras dan sebanyak apa ayah memukulku, aku bagaikan sudah mematikan syaraf rasa sakitku akan hal itu. Ibuku hanya terdiam sambil menyuapi adikku yang masih TK. Diruang berukuran 4x6 meter itu semua anggota keluarga berkumpul, menyaksikan kemarahan ayah padaku, mbah ti menangis, om ku hanya diam, sedangkan aku terus melawan ketika ayah marah, dan membuatnya semakin marah.
Perasaan yang telah hancur, masadepan yang suram, kehidupan yang kelam, keseharian yang keras, sudah tak begitu bisa kurasakan, yang ku tau hanya ketika aku mendapat juara 1 dikelas mereka menyayangiku. Aku bukan lah anak yang pandai, tapi sejak kelas 2 SD hingga kelas 6 semester satu, aku selalu mendapatkan juara satu. jadi dalam benakku, aku berpikir bahwa nakalku sepadan dengan prestasiku.
Nenek memanggilku, "zak, buka pintunya, mbah mau ambil mukena" mendengar suara itu aku pun membuka pintu kamar itu. Aku memeluk dan menangis saat mbah masuk kedalam kamar, aku merasa bahwa hidupku adalah pilihan orang tuaku, bukan pilihanku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjadi anak yang lebih nakal dari sekarang. sampai kelas enam sd aku selalu langganan panggillan BK dan kepala sekolah, sampai pada hari itu tiba, aku terus berbuat hal yang berada diluar keinginan orang tuaku.
Saat itu(kelas 6) aku masuk dalam klub sepak bola, pada saat pertandingan baru berjalan sepuluh menit aku menekel seorang lawan mainku, dia tak terima dan memberiku sebuah pukulan. dengan mulut yang berdarah aku tertawa, dan memberikan sebuah tendangan yang membuatnya terkapar di lapangan. Giginya patah, dan ia menangis, saat aku mendapat kartu merah, aku berbalik hendak keluar lapangan, tapi, setelah beberapa langkah aku kembali menghampiri Anung, ku jabat tangannya. Mungkin wasit mengira aku hendak membantunya berdiri, tapi saat itu aku menjatuhkannya lagi dan menambah sebuah tendangan dengan sepatu bolaku yang tepat mengenai pundaknya hingga membuat pundak Anung retak.Suasana bertambah panas dengan cuaca yang sebenarnya sudah cukup panas.
Tiba dirumah, aku tak menggubris saat ayahku memanggil, aku terus berjalan menuju dapur, aku tak kaget saat ayah menarik kerah bajuku dan memukulku. Pukulan ayah sudah tak bisa kurasakan lagi, mau sekeras dan sebanyak apa ayah memukulku, aku bagaikan sudah mematikan syaraf rasa sakitku akan hal itu. Ibuku hanya terdiam sambil menyuapi adikku yang masih TK. Diruang berukuran 4x6 meter itu semua anggota keluarga berkumpul, menyaksikan kemarahan ayah padaku, mbah ti menangis, om ku hanya diam, sedangkan aku terus melawan ketika ayah marah, dan membuatnya semakin marah.
Perasaan yang telah hancur, masadepan yang suram, kehidupan yang kelam, keseharian yang keras, sudah tak begitu bisa kurasakan, yang ku tau hanya ketika aku mendapat juara 1 dikelas mereka menyayangiku. Aku bukan lah anak yang pandai, tapi sejak kelas 2 SD hingga kelas 6 semester satu, aku selalu mendapatkan juara satu. jadi dalam benakku, aku berpikir bahwa nakalku sepadan dengan prestasiku.
Komentar
Posting Komentar