Laki-laki dan sendirinya
Kesendirian seakan melekat pada dirinya, seorang lelaki yang kemanapun selalu sendirian, seolah dia ta berteman dengan siapapun. Berawal dari apa yang pernah terjadi dimasalalunya yang hingga kini ia merasa nyaman untuk menjadikan kesendirian itu sebagai sahabatnya dan menikamtinya layaknya ia sudah terbiasa untuk hal yang untuk sebagian orang rasa itu berat dilakukan. Kesepian? Mungkin ia telah lupa bagaimana rasanya, karena apa yang selama ini telah ia alami dan jalani. Dulu ia adalah sosok yang sering tertawa bersama teman-temannya, selalu bergerombol bersama, namun kini ia lebih suka untuk sendiri dan memilih menjadi pribadi yang lebih pendiam tanpa mengatakan apa yang akan ia lakukan. Keluarga? Mungkin kini yang ada dalam benaknya tentang kata itu adalah kekecewaan, dihianati, ditinggalkan, tak dianggap, diremehkan atas apa yang menjadi pilihannya, trauma atas semua yaang harus menurut dan menjadi media pemuas ambisi keluarganya yang berpikir bahwa menjadi guru atau abdi negara yang lain adalah pilihan terbaik, namun hal yang terlupakan ialah bahwa dia anak yang suka dengan kebebasan dan dia suka mencari tantangan dalam kehidupannya.
Malam itu dengan kaos oblong, celana pendek, sandal swalow ia meninggalkan kos tanpa sepatah kata, bukan karena ia marah, namun karena memang dalam otaknya belum ada tujuan, hanya dengan motor jinjitnya ia menikmati jalan yang cukup ramai dan basah sehabis hujan. Terbesit keinginan tuk menepi di sebuah kedai kopi, namun melihat parkiran yang ramai, ia enggan untuk berhenti dan mencari tempat yang lebih sepi untuk menikmati malam dengan secangkir kopinya. Kafe yang terletak dalam gang kecil dan jauh dari jalan raya menjadi pilihannya, tak begitu ramai, namun beberapa meja terisi oleh beberapa kelompok remaja dan beberapa yang bersama pasangannya. Ia memilih tempat yang berada dipojok paling belakang, dalam kesendiriannya dipojok kafe, ia membayangkan betapa indahnya melihat pengunjung yang tertawa bersama teman maupun pasangannya. Ia berpikir bahwa kebahagian yang ia rasakan saat sendiri mungkin hanya ke semuan dan pura-pura yang ia ciptakan sendiri, karena didalam lubuk hati paling dalam, ia seringkali merasa iri dengan kebersamaan yang orang lain. Dimana dia hanya terdiam menghisap tembakau sambil menikmati kopinya sendiri tanpa obrolan dengan siapapun, sedangkan disekitarnya riung suara orang bercengkerama dan sesekali suara tawa yang menggelar disana.
Sebuah harapan dan kenyataan yang berbeda terbalik dalam hidupnya selalu ia nikmati, ia sadar akan apa yang menjadi harapannya tak semua akan terpenuhi, karena berharap pada apa yang diinginkan adalah seni terindah untuk mendapatkan luka karena seringkali tak mendapatkannya. Sama halnya akan perasaan yang ia rasakan, bagaikan pisau bermata dua yang bisa membuatnya bahagi a maupun membuatnya merasa kecewa. Sebuah harapan akan kehidupan yang dikelilingi orang yang disayang dan menyayangi adalah amin yang ia nanti untuk terkabul. Seorang yang terbiasa sendiri seringkali tetap merasa ingin bersama orang lain saat ia menjalani harinya, bukan dia suka akan kesendiriannya, namu karena keadaanlah yang memaksa ia untuk sendiri. Sayangi selagi ada, temani selagi ditemani, hati manusi tak ada yang tau, terluhat nyaman belum tentu yang menjalani merasa nyaman, tertawa paling keras bukan berarti ia bahagia, sendiri pun bukan berarti kesepian.
Komentar
Posting Komentar